Minggu, 26 Maret 2017

Lagu

Seperti lagu, kamu halus mengayun dalam nada
Merdu yang semakin membuatku ragu
Bersedih dalam lirik terasa perih ketika diucap
Kamu membuatku menangis berangan yang telah lalu
Bagaimana aku pernah berharap kepada cinta
Dan mulai menulis puisi romantis
Menunggu temu tiap hari
Yang tertawa bersama tiap berjumpa
Selalu makan berdua dengan menu yang sama
Lagu ini berbeda dari yang selalu kunyanyikan dulu
Lagu ini menyayat hati
Melukai seperti tiap ucapmu ketika itu
Mengajari bagaimana dusta yang sempurna
Tak pernah berhasil kubaca
Bagaimana kamu yang terlihat sempurna
Sampai kuberi segalanya
Lalu berubah seketika menjadi buaya
Ganas
Mencabik ku bertubi hingga mati
Dan kini aku menyadari
Kamu sama sekali tak berarti
Kini ku berpengganti seseorang yang baik hati
Akankah hingga mati?
Akupun tak tau
Yang pasti sepertinya aku akan tetap berlaku sama
Mencintai sampai buta
Dengan segenap jiwa dan raga
Penuh percaya tanpa tanda tanya
Begitu lah adanya
Dengan harap kali ini sempurna
Tak ada luka
Senantiasa bahagia hingga menua bersama

Jumat, 24 Maret 2017

Teruntuk Senja

Kadang aku ingin sekali berbicara dengan senja
Bertanya
Bagaimana dia indah tanpa berkata-kata
Bagimana dia sendu meski tak mendayu-dayu
Kadang aku ingin sekali menjadi senja
Diamnya bermakna
Langitnya berbahaya ketika di tatap lama
Aku pernah mencobanya
Kemudian aku buta
Kadang aku benci kepada senja
Benci caranya merayu malam datang mengikutinya
Benci caranya melawan roman picisan sang hujan
Benci karena dia mengingatkanku kepadamu
Kadang aku sangat menyukai senja
Suka saat dia melukai ku dengan kata basi berduri darimu
Suka saat dia pergi bersama kamu yang tak kembali
Suka saat aku sadar aku pantas berpengganti
Lalu aku ingin mati saat senja
Redupnya membuat semakin sendu
Membuat pelayat makin terharu
Termasuk kamu yang kemudian melagu
Ditinggal mati kekasih saat usia mudamu
Dan kemudian semuanya bisu
Karena tau hanya saling menipu

Jumat, 17 Maret 2017

Kasmaran

Ketika kamu dan aku mendekat
Saat sekat seketika luruh jadi debu yang pekat
Kemudian tiada lagi kata penat yang melekat
Semuanya terasa nikmat hingga melarat tak terlihat

Namamu yang ku dengar
Seperti lantunan nada yang menggelegar
Hanya sekali tapi bikin badan bergetar
Terkapar aku dalam kamar
Melihat samar-samar wajahmu berkeliaran
Dan sepertinya aku jatuh hati dengan benar

Matamu itu sendu
Terlihat merdu tanpa lagu
Ucapmu itu rayu
Yang lalu membuatku malu

Aku yang sedang kasmaran
Ingin selalu berduaan
Meski dua dua nya asik dengan lamunan
Tetap ini bahagia yang tak terbayang

Kamis, 16 Maret 2017

Hai Kak

Halo, apa kabar kak, terakhir kita bertemu itu tadi waktu aku lewat jalan yang jadi tempat biasa aku melihatmu jalan kaki disitu. Tadi pagi beda, seperti rasaku ke kamu kak. Ada yang salah sepertinya. Aku mungkin selalu menaruh harap yang sebenarnya kamu saja tidak pernah memberikannya, ya kan?

Aku tidak tau kapan semuanya dimulai, apa saat kamu terlihat lucu dengan gigi berbehel mu? Saat kamu terlihat aneh dengan tingkahmu yang lugu? Atau saat aku mulai bisa bicara denganmu, melihat langsung matamu? Bisa juga saat kamu menjadi imam solat dzuhur di rumah makan siang itu? Atau karna rambutmu yang teramat wangi menyerebak kemana-mana terlebih selalu saat aku duduk di atas jok motormu?

Sekarang rasanya aku hanya berani menyapa mu di saat yang pantas. Saat banyak orang bersama kita, atau saat aku benar-benar terpaksa karna terpergok kita saling tatap. Kenapa? Mungkin malu atau takut kecewa? Aku ingin berhenti sampai disini saja sesungguhnya. Tapi, aku tidak bisa bohong, akupun tak tau kenapa aku selalu berfikir tentangmu, kabarmu, perasaanmu terhadap ku, ah lucu.

Aku ingin kita menjadi dekat tanpa sekat, tapi kamu sendiri adalah dinding sekat terkuat yang menjulang tinggi tepat di depan jalan ku menuju ke arahmu. Biar saja, begini saja. Aku hanya akan memanfaatkan tempat kita pertama berjumpa agar bisa bicara dan bertatap. Diluar itu biarlah aku berhenti mencarimu, atau mencoba ikhlas menaruh rasa terhadap mu tanpa mengharap balasan, bahkan sekedar senyuman.

Selasa, 14 Maret 2017

Patah Hati

Mati
Pasti kudapati
Duri
Pedih menancap dalam hati
Benci
Pergi kau lelaki penghancur hati
Lagi
Rasa yang mati termakan janji
Cuci
Habis semua kenangan terkuras mati
Pergi
Benci dan takkan ku bicara lagi
Patah hati ini
Seluruh rasa telah pergi

Temu

Kau tau? Seringkali perpisahan disertai dengan temu. Lucu memang, ketika teman menjadi seseorang yang dirindukan. Aku bahkan tak tau kapan tepatnya aku jatuh hati kepada dia yang kini di hati. Seperti teka-teki, ini membuat geli. Hidup itu benar-benar penuh kejutan. Dan kemudian aku jadi tersadar bahwa syukur harus selalu diterapkan dalam tiap detik kehidupan.
Tentang temuku dengan dia, benar-benar seperti candu. Seperti telenofela atau mungkin drama korea? Obrolan tengah malam memulai segalanya. Kota Yogja yang kemudian bagai Venezuela,romantis dan manis. Bukan bandara yang jadi tempat peraduan, tapi terminal yang padahal terlampau jauh dari tempat tujuan. Lampion yang menyala saat itu kemudian menuntunnya menggenggamku. Kaget. Seperti ada yang salah tapi aku suka. Lalu banyak sekali cerita, banyak sekali foto yang terekam dalam lensa kamera.
Lagi, ketika dekat makin melekat, dan aku mulai tersesat bagaimana menyampaikan rasa. Dia kira aku ingin segera bersama, memang tapi tak seekstrem itu. Seperti eskrim yang dingin lalu tiba-tiba terkena panas. Bagaimana selanjutnya? Tentu saja meleleh.
Dan tentang hujan di tanggal dua Januari, Yogya kembali menjadi berseri. Sepanjang jalan kenangan kita berbincang. Menonton film yang membuat terpingkal. Kembali dengan awan yang sepi lagi gelap, dan tiba-tiba lajunya menepi, berhenti, memberi pernyataan yang kutunggu sebenarnya sedari berangkat tadi.
Singkat,tapi bukan tanpa bakat. Ini bukan tentang cerita yang bikin ngantuk, ini membuatku takjub. Baik atau salah meskipun aku tak terima tapi tetap biasa saja. Semacam mengerti tanpa disadari. Ada beberapa cerita tentang luka yang menyayat hati, yang kemudian diikuti janji yang membuat gundah tiap hari.
Sikap, sifat,selalu jadi bumerang dalam setiap masa depan yang ingin ku tantang. Serta jarak yang membuat rindu mengumpul jadi satu hingga beradu menggebu sampai ingin kupeluk erat tubuhnya ketika bertemu.
Ah kamu, jangan biarkan cerita ini berlalu seperti yang dulu-dulu. Jarak itu hanya ukuran,meski membuat rindu yang menyiksa tetap aku suka. Berjalan seperti angan asal jangan kebanyakan menghayal. Beriringan sepertinya lebih menyenangkan dibanding sendirian. Kemudian, biarkan adanya cerita ini,sertai dengan usaha dan doa. Dan untuk keberkian kalinya, kamu membuatku percaya selalu ada asa di tiap cinta yang tercipta.

Kembali

Lima belas Maret dua ribu tujuh belas
Aku kembali dengan kisah yang semakin bikin gundah
Tentang hati yang jauh lebih hancur hingga musnah
Tentang hati yang mati karena pujaan hati menyakiti jauh ke lubuk hati
Sakit yang tak ketara ini masih kutertawai sampai ajal kan menjelang
Dia yang pernah benar-benar nyata
Dia yang pernah ada yang kemudian tiada
Dia yang menorehkan luka seribu kali lebih sakit dari terkena celurit
Adakah dia ingat masa yang sulit
Adakah dia tau luruh segala rasaku jadi debu
Ketika cinta hancur karena tega
Ketika yang ketiga hadir membawa duka yang mencabik sukma
Dendam ?
Bukan
Hanya heran
Tanyakan saja adakah manusia macam itu
Yang beradu dengan mulut yang penuh bisa
Seolah merasa padahal kosong hati jiwa dan pikirannya
Sajak ini hanya untuk mengenang bagaimana dulu aku tersingkap
Tertutup kedua mata menggila karena orang gila
Bagaimana dulu aku menangis ketika Tuhan mencoba mengais diriku agar tersadar
Dan bagaimana kini aku berdiri
Bahkan berlari meninggalkan apa yang seharusnya sedari dulu ku benci
Yaitu kamu
Dengan semua bohongmu

Lararam

Ketika adzan berseru, terjagalah anak Adam dari lamunannya. Seketika dia berlari mencari suara gemericik air yang terdengar tepat di telinga bagian kanan. Suara ayam yang bercakap membuat tak tega menangkapnya untuk disantap. Matahari masih terkantuk di peraduannya. Dan aku masih tersungkup dalam duka dan luka yang sulit tertutup. Tuhan begitu dekat denganku, tapi aku masih saja risau menunggu sang sahaja muncul mukanya di depan rumahku. Masih saja rasanya berlaku bagai putri raja yang enggan bangun minta ditopang.
Seberapa beratkah beban dalam pundak ini? Entahlah, hanya saja tumpukan dosa, luka, dan duka sepertinya semakin membara. Menderita sekali rasanya. Terpuruk dengan hati yang begitu buruk. Mengorek masa lalu dan sulit maju. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Aku bahkan tak mengerti bagaimana caranya menemukan diriku sendiri. Bahkan tak bisa berpaling sampai kutemukan jalanku sendiri.
Lalu tiba-tiba dalam sejuta kata yang tertumpuk di otak ini, anak Adam kembali. Aku melihatnya bersinar. Dia berjalan ke arahku dengan senyum yang menggelikan dan berkata " Setidaknya kau punya badut sepertiku yang bisa kau tertawai sampai mati dan hilang semua dukamu itu. Aku akan menjadi badut yang menggelitikimu, bahkan saat kau hanya melihat namaku, bahkan saat kau tak menganggapku ada".
Aku benar-benar tertawa kali ini dan menikmati semua kata-katanya yang sejuk sekaligus menusuk.


Malrbara

Bara-bara api yang membara
Luapan tiupan angin kencang dari selatan
Hembusan sejuta amarah si Malrbara
Terkoyak terbayang ruam wajah yang merana
Mana yang ku singkap mana yang ku tangkap
Berburu atau berlalu
Malu atau rindu
Lalu candu yang merayu perlahan masuk merasuk ke dalam sukmaku
Bisu juga yang bungkam semua sungkan
Sepertinya Malrbara terlalu pandai merayuku
Tapi rindu ini kemuadian menggebu usik debu dan hancurkan pilu
Kapan lagi bertemu Malrbara?
Meski banyak dosa padanya
Tetap aku berdoa untuknya
Semoga Malrbara dalam suka tanpa duka
Ku harap Malrbara tetap bersamaku bersuap canda tawa
Dan menunggu saat waktu akan menjumpa
Aku dan Malrbara menatap
Malrbara dan aku menetap


Tangguh

Bersama dalam satu garis lurus
Bertanya pada bala tentara yang berbaris di atas pentas hijau membara
Terlihat tangguh tak goyah meski tertusuk panah
Mereka terheran melihat senyum sumringah yang merekah merona
Ah memang sepertinya aku terpana
Senantiasa tertawa dalam canda di dalam bis kota
Terlampau tangguh pesonanya
Terlanjur tangguh rasaku padanya
Lingkaran candu asmara yang membara
Lalu bagaimana dengan ketangguhan ikatan
Terfikirkah atau terhindarkan?
Yang penting aku tangguh di sini
Tetap berdiri di sampingnya
Setia menemani dan ada untuknya
Sebagai teman di mana-mana juga di bis kota
Aku akan tetap tangguh untuknya yang tangguh

Galau

Meradang dalam dada
Aku terpana pada sosok jalang katanya
Bertapa tanpa temu dan sapa
Ruang ini gelap
Tertutup kelambu warnah merah tua
Batin ini tersingkap
Tetap terperangkap dalam gelap
Hingga hinggap sebutir cahaya biru
Risau aku risau
Bagaimana mungkin si jalang
Ku damba bagai domba gembala emas
Adakah suatu wasiat penasihat ?
Aku butuh tuntunan
Langkah tak bisa merekah sumringah
Bahagia yang fana
Gelap ini semakin menghisap tenagaku
Lama aku jatuh tersungkup
Sesal tak henti meski cahaya itu mendekati
Tidak, tidak
Mana mungkin aku begini pasrah
Kalah pada semua marah yang parah
Musnahlah segala risau galau
Akan ku tapakkan kakiku
Pada sesungkup batu besar
Lantang menentang tak mendengar longlongan yang jalang
Cintaku itu tak jalang
Hanya saja ilalang yang dianggap hilang


Eglantine

Seperti bunga itu, harum semerbak menyerebak ke semak-semak ruang hampa ini.
Sanjungan yang mampu membuat ku bisu tapi masih saja pilu.
Pertemuan yang dinanti ujungnya jadi benci karena sesungguhnya itu juga menyakiti.
Mimpi yang dirajut kemudian larut dan hilang bersama bayang yang kau bawa melayang entah ke seberang yang mana.
Duh rasanya sesak di dada.
Lirih ku bersua bercerita tapi tetap tiada kabarnya.
Matilah jika kau pergi lagi.
Setidaknya jangan permainkanku seperti ini.
Kau seperti anggapku sampah limbah dari sumpah serapah yang dengan serakah kau buat.
Tidak!
Aku membenci hal yang ku cari.
Lalu kenapa kau tetap ku nanti?
Bahkan setelah melati pergi, bunga ini tak kembang lagi.
Hanya arti yang tersembunyi dalam nama.
"Eglantine" yang abadi.

Cerita Kepada Matahari

Tertunduklah matahari, aku ingin bercerita kepadamu. Aku tidak bisa mendongakkan kepalaku, itu  terlalu sulit, itu akan membuatku menangis karena silaumu. Matahari, kau pernah mendengar cerita Romeo dan Juliet? Setidaknya kaulah saksi sepanjang masa, harusnya kau tau itu.
Tentang si kerbau putih, yang hadir begitu lama di hidupku, yang membuat suka terlebih juga pilu. Yang membuat cerita 17 Juni menjadi nyata. Yang membuat mimpi selalu terbelenggu hanya berorientasi kepadanya. Bagiku, terlebih dan terlampau sulit semuanya ku musnahkan hingga luruh segala rasa terhadapnya, musnah semua mimpi tentangnya, dan berhenti semua harapan tentangnya.
Matahari, berjelaga sendiri aku sepi, menangis sendiri aku letih, bicara sendiri aku lelah. Teman yang jauh tak tergapai, semua tentang rasa yang terjebak dalam lubang cacing dalam. Gelap. Sesak. Sepi.
Aku bahkan terlampau menggila sehingga selalu saja berfikir dia bisa kembali dan menjadi tungganganku ke nirwana nanti,bisa menjadi penuntun jalan ku saat aku tersesat.
Membius semua rasa, hujan yang deras datang dan memecah segalanya. Badai yang menyambar perahu tungganganku hingga tenggelam. Tentang kelegaan dan penyesalan tumpah ruah dalam samudra penampung pilu. Dan kini aku telah sampai tingkatan dewa yang sudah kekal akan semua dentuman yang memecah rasa hingga musnah dan tak bisa merasa. Aku berjalan lurus, dengan tulus, menghapus semua cerita tentang kerbau putih perayu rasa penghancur hati.
Dan kepada matahari yang tetap membisu mendengar ceritaku, ingatlah dan jagalah hingga dunia membuatku tak lagi merasakan panasmu.

Tertanda Merpati Jingga.

Puisi Malam Mala Rindu

Pertama dalam sebuah warna hitam yang ada seketika membeku terus saja seperti itu. Seketika itu pula aku berfikir rindu ini sudah terlampau merasuk. Kepada siapa dan kenapa pun aku tak tahu. Malam ini hujan tak turun tapi langit tanpa bintang dan bulan membuat suasana semakin sengsara dan hampa.
Tangan ini berusaha terus bersembunyi dan tak lagi memperlihatkan ingin menggenggammu. Sesungguhnya aku tahu kau tak sungguh-sungguh terhadapku, hanya saja kata-kata manismu selalu membuatku rindu. Ah, rasanya aku ingin mengikuti realitanya saja, dan pergi dari sisimu, memperlihatkan betapa muak aku selama ini menunggu dan percaya. Sesungguhnya aku bahkan tak bisa percaya seluruhnya terhadapmu. Orang macam apa, pikiranmu yang sesungguhnya seperti apa, pandanganmu tetangku bagaimana pun aku tak yakin yang sesungguhnya seperti apa. Tapi tetap saja lantunan sajak-sajak rindu, bingkisan lagu puisi mala rinduku kutujukan kepadamu.
Aku selalu berfikir kau akan membuatku bangga, tapi aku tak berfikir kau akan membuatku bahagia. Merpati ini lelah setia, merpati ini ingin kau bawa kehadapan mereka. Jika kau tak bisa berucap karena bimbang, setidaknya tunjukan aku dekat denganmu.
Puisi ini rasanya tiada gunanya, aku muak. Mengapa setiap pesonamu membungkamku? Aku bahkan tak bisa memungkiri kebanggaanku terhadapmu. Apa yang harus aku lakukan kalau sudah begini?
Aku bagaikan seorang jalang yang tak berhak berharap, tapi kau selalu berkata manis terhadapku. Membungkamku dengan semua ketidakpastian yang kutahu pasti.
Kenapa kau begini? Aku tak tahu apakah aku mencintaimu? Rasanya ini bukan perasaan cinta. Hanya saja aku tak rela melepaskan kau yang membuatku terbungkam dan terdiam untuk tetap menunggu dan terus saja berharap.
Untukmu si kaki besar.


Hujan 13 Januari 2015

Hujan sore ini membasahi seluruh atap peneduh jiwa.
Seperti duka, aku ingin bercerita tentang dia.
Panah asmara yang salah entah menancap ke bagian mana dan kepada siapa.
Aku gundah dan resah menunggu suka.
Haruskah aku tetap berjalan lurus kearahnya?
Bahkan aku tak tahu nirwana seperti apa yang ada di sana.
Aku tak mau melangkah lagi kearahnya.
Aku lelah.
Tapi cita dan cintaku di sana.
Maka aku bertanya pada hujan 13 Januari.
Luka atau suka yang kan ku jumpa.