Rabu, 12 April 2017
Masalalu
Ada cerita, tentang dua orang yang saling bicara. Mereka begitu gemar mengotak atik cerita yang dianggap antik, masa lalu contohnya? Tak ayal masalah topik itu akan jadi menarik juga bisa jadi pemantik api. Kalau dua sejoli yang sedang bersama dalam artian yang sesungguhnya lalu berkata tentang macam masalalu, mungkin bisa jadi sama-sama tahu satu satu dan cerita hidup dua duanya. Bisa juga yang satu hanya mau cerita tapi tak ingin mendengar cerita. Orang itu berbeda-beda, coba toleransi dan buat dia mengerti. Sepertinya masalalu itu cukup ditaui saja, cukup yang riskan saja. Bukannya takut nanti jadi tak tau apa-apa tentang dia? Lantas kalau kamu tau memang akan merubah sesuatu? Masalalu itu biar disimpan masing-masing jika tak terlalu penting, biar jadi bunga cerita dalam hidup. Pasalnya mau seperti apa masalalu pasanganmu seharusnya tak merubah perasaanmu, yakan? Loh bukannya untuk menilai dia baik atau tidak? Lalu kamu berfikir kamu baik? Masalalu itu di masa yang lampau, mana ada masa lalu masih terjadi sampai kini? Jangan suka mengada-ada. Bukannya tak butuh cerita, tapi pahamilah, kamu itu menyukai dirinya yang sekarang yang bisa lebih, juga bisa kurang. Tiap orang punya jejak langkah kaki yang bisa redup maupun merekah, jadi jangan gundah. Berteguh hatilah dan jangan terlalu banyak bicara tentang itu. Karena bukankah yang dimau itu masa depan? Atau kamu mau terus kembali ke belakang?
Kamis, 06 April 2017
Lagi
Mawar putih kini tlah menghitam.
Durinya runtuh,daunnya mati
Wanginya tak ada lagi.
Hidupnya selesai.
Buku ditanganku usang.
Tak pernah terjamah.
Kini dia lemah, sangat mudah di remah.
Tak mungkin lagi dapat terbaca.
Sudah punah tinta yang mengisinya.
Uangku hilang.
Boros terlalu banyak membeli hati.
Nyatanya terkikis sakit yang lagi dan lagi.
Lalu hatiku mekar lagi.
Kini, saat ku sudah tak mengerti akan makna janji sehidup semati.
Saat tak bisa lagi membaca mana yang baik lagi.
Dan lagi, aku menaruh harap terlalu tinggi.
Kuserahkan jiwa sepenuh hati.
Matipun kutak perduli.
Ataukah sudah terjadi?
Jika nanti kamupun pergi sama seperti yang lain.
Lainkali mungkin tak lagi kupercaya akan cinta sejati.
Makna dari hati,atau janji yang hanya jadi belati.
Selalu aku berperangai percaya.
Berpura-pura mengerti dan baik hati.
Mungkin saja hati ini dipenuhi benci.
Aku hidup untuk diriku sendiri.
Berdiri dan mendiam dalam kepalaku.
Hidupku penuh kepura-puraan dan drama.
Bahkan aku tau kau akan baik-baik saja jika ku tiada.
Dan aku akan mati menyendiri saat kau pergi selamanya.
Lalu aku akan mendoakan kau bahagia.
Kemunafikan ini lucu.
Aku berharap kau mati tanpaku.
Seperti apa yang kulakukan.
Aku merasa gila.
Terlalu banyak luka yang mengubahku dari rubah menjadi serigala.
Dan jika kamu tanya satu saja kejujuran yang kumiliki.
Jawabannya kamu.
Bagaimana aku mencintaimu.
Bagaimana aku membutuhkanmu.
Bagaimana aku merindukanmu.
Kebodohan yang tak pernah ku cegah hingga aku menyerah.
Dengan percaya dan jatuh cinta.
Sedalam-dalamnya.
Jika kau percaya.
Kalaupun tidak kupun tak perduli.
Sudah biasa aku tak diterima.
Dikecewakan.
Dibuang.
Tak dianggap ada.
Bila kaupun melakukannya aku bisa apa.
Karena dengan segala benci, kemarahan, dan kemurahan yang kumiliki.
Sekali lagi aku terjatuh lagi.
Jatuh cinta kepada seseorang sepertimu.
Yang kupasrahkan sekali lagi.
Entah jadi benci kembali.
Ataukah menjadi abadi.
Kutak perduli.
Minggu, 26 Maret 2017
Lagu
Seperti lagu, kamu halus mengayun dalam nada
Merdu yang semakin membuatku ragu
Bersedih dalam lirik terasa perih ketika diucap
Kamu membuatku menangis berangan yang telah lalu
Bagaimana aku pernah berharap kepada cinta
Dan mulai menulis puisi romantis
Menunggu temu tiap hari
Yang tertawa bersama tiap berjumpa
Selalu makan berdua dengan menu yang sama
Lagu ini berbeda dari yang selalu kunyanyikan dulu
Lagu ini menyayat hati
Melukai seperti tiap ucapmu ketika itu
Mengajari bagaimana dusta yang sempurna
Tak pernah berhasil kubaca
Bagaimana kamu yang terlihat sempurna
Sampai kuberi segalanya
Lalu berubah seketika menjadi buaya
Ganas
Mencabik ku bertubi hingga mati
Dan kini aku menyadari
Kamu sama sekali tak berarti
Kini ku berpengganti seseorang yang baik hati
Akankah hingga mati?
Akupun tak tau
Yang pasti sepertinya aku akan tetap berlaku sama
Mencintai sampai buta
Dengan segenap jiwa dan raga
Penuh percaya tanpa tanda tanya
Begitu lah adanya
Dengan harap kali ini sempurna
Tak ada luka
Senantiasa bahagia hingga menua bersama
Merdu yang semakin membuatku ragu
Bersedih dalam lirik terasa perih ketika diucap
Kamu membuatku menangis berangan yang telah lalu
Bagaimana aku pernah berharap kepada cinta
Dan mulai menulis puisi romantis
Menunggu temu tiap hari
Yang tertawa bersama tiap berjumpa
Selalu makan berdua dengan menu yang sama
Lagu ini berbeda dari yang selalu kunyanyikan dulu
Lagu ini menyayat hati
Melukai seperti tiap ucapmu ketika itu
Mengajari bagaimana dusta yang sempurna
Tak pernah berhasil kubaca
Bagaimana kamu yang terlihat sempurna
Sampai kuberi segalanya
Lalu berubah seketika menjadi buaya
Ganas
Mencabik ku bertubi hingga mati
Dan kini aku menyadari
Kamu sama sekali tak berarti
Kini ku berpengganti seseorang yang baik hati
Akankah hingga mati?
Akupun tak tau
Yang pasti sepertinya aku akan tetap berlaku sama
Mencintai sampai buta
Dengan segenap jiwa dan raga
Penuh percaya tanpa tanda tanya
Begitu lah adanya
Dengan harap kali ini sempurna
Tak ada luka
Senantiasa bahagia hingga menua bersama
Jumat, 24 Maret 2017
Teruntuk Senja
Kadang aku ingin sekali berbicara dengan senja
Bertanya
Bagaimana dia indah tanpa berkata-kata
Bagimana dia sendu meski tak mendayu-dayu
Kadang aku ingin sekali menjadi senja
Diamnya bermakna
Langitnya berbahaya ketika di tatap lama
Aku pernah mencobanya
Kemudian aku buta
Kadang aku benci kepada senja
Benci caranya merayu malam datang mengikutinya
Benci caranya melawan roman picisan sang hujan
Benci karena dia mengingatkanku kepadamu
Kadang aku sangat menyukai senja
Suka saat dia melukai ku dengan kata basi berduri darimu
Suka saat dia pergi bersama kamu yang tak kembali
Suka saat aku sadar aku pantas berpengganti
Lalu aku ingin mati saat senja
Redupnya membuat semakin sendu
Membuat pelayat makin terharu
Termasuk kamu yang kemudian melagu
Ditinggal mati kekasih saat usia mudamu
Dan kemudian semuanya bisu
Karena tau hanya saling menipu
Bertanya
Bagaimana dia indah tanpa berkata-kata
Bagimana dia sendu meski tak mendayu-dayu
Kadang aku ingin sekali menjadi senja
Diamnya bermakna
Langitnya berbahaya ketika di tatap lama
Aku pernah mencobanya
Kemudian aku buta
Kadang aku benci kepada senja
Benci caranya merayu malam datang mengikutinya
Benci caranya melawan roman picisan sang hujan
Benci karena dia mengingatkanku kepadamu
Kadang aku sangat menyukai senja
Suka saat dia melukai ku dengan kata basi berduri darimu
Suka saat dia pergi bersama kamu yang tak kembali
Suka saat aku sadar aku pantas berpengganti
Lalu aku ingin mati saat senja
Redupnya membuat semakin sendu
Membuat pelayat makin terharu
Termasuk kamu yang kemudian melagu
Ditinggal mati kekasih saat usia mudamu
Dan kemudian semuanya bisu
Karena tau hanya saling menipu
Jumat, 17 Maret 2017
Kasmaran
Ketika kamu dan aku mendekat
Saat sekat seketika luruh jadi debu yang pekat
Kemudian tiada lagi kata penat yang melekat
Semuanya terasa nikmat hingga melarat tak terlihat
Namamu yang ku dengar
Seperti lantunan nada yang menggelegar
Hanya sekali tapi bikin badan bergetar
Terkapar aku dalam kamar
Melihat samar-samar wajahmu berkeliaran
Dan sepertinya aku jatuh hati dengan benar
Matamu itu sendu
Terlihat merdu tanpa lagu
Ucapmu itu rayu
Yang lalu membuatku malu
Aku yang sedang kasmaran
Ingin selalu berduaan
Meski dua dua nya asik dengan lamunan
Tetap ini bahagia yang tak terbayang
Saat sekat seketika luruh jadi debu yang pekat
Kemudian tiada lagi kata penat yang melekat
Semuanya terasa nikmat hingga melarat tak terlihat
Namamu yang ku dengar
Seperti lantunan nada yang menggelegar
Hanya sekali tapi bikin badan bergetar
Terkapar aku dalam kamar
Melihat samar-samar wajahmu berkeliaran
Dan sepertinya aku jatuh hati dengan benar
Matamu itu sendu
Terlihat merdu tanpa lagu
Ucapmu itu rayu
Yang lalu membuatku malu
Aku yang sedang kasmaran
Ingin selalu berduaan
Meski dua dua nya asik dengan lamunan
Tetap ini bahagia yang tak terbayang
Kamis, 16 Maret 2017
Hai Kak
Halo, apa kabar kak, terakhir kita bertemu itu tadi waktu aku lewat jalan yang jadi tempat biasa aku melihatmu jalan kaki disitu. Tadi pagi beda, seperti rasaku ke kamu kak. Ada yang salah sepertinya. Aku mungkin selalu menaruh harap yang sebenarnya kamu saja tidak pernah memberikannya, ya kan?
Aku tidak tau kapan semuanya dimulai, apa saat kamu terlihat lucu dengan gigi berbehel mu? Saat kamu terlihat aneh dengan tingkahmu yang lugu? Atau saat aku mulai bisa bicara denganmu, melihat langsung matamu? Bisa juga saat kamu menjadi imam solat dzuhur di rumah makan siang itu? Atau karna rambutmu yang teramat wangi menyerebak kemana-mana terlebih selalu saat aku duduk di atas jok motormu?
Sekarang rasanya aku hanya berani menyapa mu di saat yang pantas. Saat banyak orang bersama kita, atau saat aku benar-benar terpaksa karna terpergok kita saling tatap. Kenapa? Mungkin malu atau takut kecewa? Aku ingin berhenti sampai disini saja sesungguhnya. Tapi, aku tidak bisa bohong, akupun tak tau kenapa aku selalu berfikir tentangmu, kabarmu, perasaanmu terhadap ku, ah lucu.
Aku ingin kita menjadi dekat tanpa sekat, tapi kamu sendiri adalah dinding sekat terkuat yang menjulang tinggi tepat di depan jalan ku menuju ke arahmu. Biar saja, begini saja. Aku hanya akan memanfaatkan tempat kita pertama berjumpa agar bisa bicara dan bertatap. Diluar itu biarlah aku berhenti mencarimu, atau mencoba ikhlas menaruh rasa terhadap mu tanpa mengharap balasan, bahkan sekedar senyuman.
Aku tidak tau kapan semuanya dimulai, apa saat kamu terlihat lucu dengan gigi berbehel mu? Saat kamu terlihat aneh dengan tingkahmu yang lugu? Atau saat aku mulai bisa bicara denganmu, melihat langsung matamu? Bisa juga saat kamu menjadi imam solat dzuhur di rumah makan siang itu? Atau karna rambutmu yang teramat wangi menyerebak kemana-mana terlebih selalu saat aku duduk di atas jok motormu?
Sekarang rasanya aku hanya berani menyapa mu di saat yang pantas. Saat banyak orang bersama kita, atau saat aku benar-benar terpaksa karna terpergok kita saling tatap. Kenapa? Mungkin malu atau takut kecewa? Aku ingin berhenti sampai disini saja sesungguhnya. Tapi, aku tidak bisa bohong, akupun tak tau kenapa aku selalu berfikir tentangmu, kabarmu, perasaanmu terhadap ku, ah lucu.
Aku ingin kita menjadi dekat tanpa sekat, tapi kamu sendiri adalah dinding sekat terkuat yang menjulang tinggi tepat di depan jalan ku menuju ke arahmu. Biar saja, begini saja. Aku hanya akan memanfaatkan tempat kita pertama berjumpa agar bisa bicara dan bertatap. Diluar itu biarlah aku berhenti mencarimu, atau mencoba ikhlas menaruh rasa terhadap mu tanpa mengharap balasan, bahkan sekedar senyuman.
Selasa, 14 Maret 2017
Patah Hati
Mati
Pasti kudapati
Duri
Pedih menancap dalam hati
Benci
Pergi kau lelaki penghancur hati
Lagi
Rasa yang mati termakan janji
Cuci
Habis semua kenangan terkuras mati
Pergi
Benci dan takkan ku bicara lagi
Patah hati ini
Seluruh rasa telah pergi
Pasti kudapati
Duri
Pedih menancap dalam hati
Benci
Pergi kau lelaki penghancur hati
Lagi
Rasa yang mati termakan janji
Cuci
Habis semua kenangan terkuras mati
Pergi
Benci dan takkan ku bicara lagi
Patah hati ini
Seluruh rasa telah pergi
Temu
Kau tau? Seringkali perpisahan disertai dengan temu. Lucu memang,
ketika teman menjadi seseorang yang dirindukan. Aku bahkan tak tau kapan
tepatnya aku jatuh hati kepada dia yang kini di hati. Seperti teka-teki, ini
membuat geli. Hidup itu benar-benar penuh kejutan. Dan kemudian aku jadi
tersadar bahwa syukur harus selalu diterapkan dalam tiap detik kehidupan.
Tentang temuku dengan dia, benar-benar seperti candu. Seperti
telenofela atau mungkin drama korea? Obrolan tengah malam memulai segalanya. Kota
Yogja yang kemudian bagai Venezuela,romantis dan manis. Bukan bandara yang jadi
tempat peraduan, tapi terminal yang padahal terlampau jauh dari tempat tujuan. Lampion
yang menyala saat itu kemudian menuntunnya menggenggamku. Kaget. Seperti ada
yang salah tapi aku suka. Lalu banyak sekali cerita, banyak sekali foto yang
terekam dalam lensa kamera.
Lagi, ketika dekat makin melekat, dan aku mulai tersesat
bagaimana menyampaikan rasa. Dia kira aku ingin segera bersama, memang tapi tak
seekstrem itu. Seperti eskrim yang dingin lalu tiba-tiba terkena panas. Bagaimana
selanjutnya? Tentu saja meleleh.
Dan tentang hujan di tanggal dua Januari, Yogya kembali
menjadi berseri. Sepanjang jalan kenangan kita berbincang. Menonton film yang
membuat terpingkal. Kembali dengan awan yang sepi lagi gelap, dan tiba-tiba
lajunya menepi, berhenti, memberi pernyataan yang kutunggu sebenarnya sedari
berangkat tadi.
Singkat,tapi bukan tanpa bakat. Ini bukan tentang cerita
yang bikin ngantuk, ini membuatku takjub. Baik atau salah meskipun aku tak
terima tapi tetap biasa saja. Semacam mengerti tanpa disadari. Ada beberapa
cerita tentang luka yang menyayat hati, yang kemudian diikuti janji yang
membuat gundah tiap hari.
Sikap, sifat,selalu jadi bumerang dalam setiap masa depan
yang ingin ku tantang. Serta jarak yang membuat rindu mengumpul jadi satu
hingga beradu menggebu sampai ingin kupeluk erat tubuhnya ketika bertemu.
Ah kamu, jangan biarkan cerita ini berlalu seperti yang
dulu-dulu. Jarak itu hanya ukuran,meski membuat rindu yang menyiksa tetap aku
suka. Berjalan seperti angan asal jangan kebanyakan menghayal. Beriringan sepertinya
lebih menyenangkan dibanding sendirian. Kemudian, biarkan adanya cerita
ini,sertai dengan usaha dan doa. Dan untuk keberkian kalinya, kamu membuatku
percaya selalu ada asa di tiap cinta yang tercipta.
Kembali
Lima belas Maret dua ribu tujuh belas
Aku kembali dengan kisah yang semakin bikin gundah
Tentang hati yang jauh lebih hancur hingga musnah
Tentang hati yang mati karena pujaan hati menyakiti jauh ke
lubuk hati
Sakit yang tak ketara ini masih kutertawai sampai ajal kan
menjelang
Dia yang pernah benar-benar nyata
Dia yang pernah ada yang kemudian tiada
Dia yang menorehkan luka seribu kali lebih sakit dari
terkena celurit
Adakah dia ingat masa yang sulit
Adakah dia tau luruh segala rasaku jadi debu
Ketika cinta hancur karena tega
Ketika yang ketiga hadir membawa duka yang mencabik sukma
Dendam ?
Bukan
Hanya heran
Tanyakan saja adakah manusia macam itu
Yang beradu dengan mulut yang penuh bisa
Seolah merasa padahal kosong hati jiwa dan pikirannya
Sajak ini hanya untuk mengenang bagaimana dulu aku
tersingkap
Tertutup kedua mata menggila karena orang gila
Bagaimana dulu aku menangis ketika Tuhan mencoba mengais
diriku agar tersadar
Dan bagaimana kini aku berdiri
Bahkan berlari meninggalkan apa yang seharusnya sedari dulu
ku benci
Yaitu kamu
Dengan semua bohongmu
Lararam
Ketika
adzan berseru, terjagalah anak Adam dari lamunannya. Seketika dia berlari
mencari suara gemericik air yang terdengar tepat di telinga bagian kanan. Suara
ayam yang bercakap membuat tak tega menangkapnya untuk disantap. Matahari masih
terkantuk di peraduannya. Dan aku masih tersungkup dalam duka dan luka yang
sulit tertutup. Tuhan begitu dekat denganku, tapi aku masih saja risau menunggu
sang sahaja muncul mukanya di depan rumahku. Masih saja rasanya berlaku bagai
putri raja yang enggan bangun minta ditopang.
Seberapa beratkah beban dalam pundak ini? Entahlah, hanya saja tumpukan dosa, luka, dan duka sepertinya semakin membara. Menderita sekali rasanya. Terpuruk dengan hati yang begitu buruk. Mengorek masa lalu dan sulit maju. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Aku bahkan tak mengerti bagaimana caranya menemukan diriku sendiri. Bahkan tak bisa berpaling sampai kutemukan jalanku sendiri.
Lalu tiba-tiba dalam sejuta kata yang tertumpuk di otak ini, anak Adam kembali. Aku melihatnya bersinar. Dia berjalan ke arahku dengan senyum yang menggelikan dan berkata " Setidaknya kau punya badut sepertiku yang bisa kau tertawai sampai mati dan hilang semua dukamu itu. Aku akan menjadi badut yang menggelitikimu, bahkan saat kau hanya melihat namaku, bahkan saat kau tak menganggapku ada".
Aku benar-benar tertawa kali ini dan menikmati semua kata-katanya yang sejuk sekaligus menusuk.
Seberapa beratkah beban dalam pundak ini? Entahlah, hanya saja tumpukan dosa, luka, dan duka sepertinya semakin membara. Menderita sekali rasanya. Terpuruk dengan hati yang begitu buruk. Mengorek masa lalu dan sulit maju. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Aku bahkan tak mengerti bagaimana caranya menemukan diriku sendiri. Bahkan tak bisa berpaling sampai kutemukan jalanku sendiri.
Lalu tiba-tiba dalam sejuta kata yang tertumpuk di otak ini, anak Adam kembali. Aku melihatnya bersinar. Dia berjalan ke arahku dengan senyum yang menggelikan dan berkata " Setidaknya kau punya badut sepertiku yang bisa kau tertawai sampai mati dan hilang semua dukamu itu. Aku akan menjadi badut yang menggelitikimu, bahkan saat kau hanya melihat namaku, bahkan saat kau tak menganggapku ada".
Aku benar-benar tertawa kali ini dan menikmati semua kata-katanya yang sejuk sekaligus menusuk.
Malrbara
Bara-bara
api yang membara
Luapan tiupan angin kencang dari selatan
Hembusan sejuta amarah si Malrbara
Terkoyak terbayang ruam wajah yang merana
Mana yang ku singkap mana yang ku tangkap
Berburu atau berlalu
Malu atau rindu
Lalu candu yang merayu perlahan masuk merasuk ke dalam sukmaku
Bisu juga yang bungkam semua sungkan
Sepertinya Malrbara terlalu pandai merayuku
Tapi rindu ini kemuadian menggebu usik debu dan hancurkan pilu
Kapan lagi bertemu Malrbara?
Meski banyak dosa padanya
Tetap aku berdoa untuknya
Semoga Malrbara dalam suka tanpa duka
Ku harap Malrbara tetap bersamaku bersuap canda tawa
Dan menunggu saat waktu akan menjumpa
Aku dan Malrbara menatap
Malrbara dan aku menetap
Luapan tiupan angin kencang dari selatan
Hembusan sejuta amarah si Malrbara
Terkoyak terbayang ruam wajah yang merana
Mana yang ku singkap mana yang ku tangkap
Berburu atau berlalu
Malu atau rindu
Lalu candu yang merayu perlahan masuk merasuk ke dalam sukmaku
Bisu juga yang bungkam semua sungkan
Sepertinya Malrbara terlalu pandai merayuku
Tapi rindu ini kemuadian menggebu usik debu dan hancurkan pilu
Kapan lagi bertemu Malrbara?
Meski banyak dosa padanya
Tetap aku berdoa untuknya
Semoga Malrbara dalam suka tanpa duka
Ku harap Malrbara tetap bersamaku bersuap canda tawa
Dan menunggu saat waktu akan menjumpa
Aku dan Malrbara menatap
Malrbara dan aku menetap
Tangguh
Bersama
dalam satu garis lurus
Bertanya pada bala tentara yang berbaris di atas pentas hijau membara
Terlihat tangguh tak goyah meski tertusuk panah
Mereka terheran melihat senyum sumringah yang merekah merona
Ah memang sepertinya aku terpana
Senantiasa tertawa dalam canda di dalam bis kota
Terlampau tangguh pesonanya
Terlanjur tangguh rasaku padanya
Lingkaran candu asmara yang membara
Lalu bagaimana dengan ketangguhan ikatan
Terfikirkah atau terhindarkan?
Yang penting aku tangguh di sini
Tetap berdiri di sampingnya
Setia menemani dan ada untuknya
Sebagai teman di mana-mana juga di bis kota
Aku akan tetap tangguh untuknya yang tangguh
Bertanya pada bala tentara yang berbaris di atas pentas hijau membara
Terlihat tangguh tak goyah meski tertusuk panah
Mereka terheran melihat senyum sumringah yang merekah merona
Ah memang sepertinya aku terpana
Senantiasa tertawa dalam canda di dalam bis kota
Terlampau tangguh pesonanya
Terlanjur tangguh rasaku padanya
Lingkaran candu asmara yang membara
Lalu bagaimana dengan ketangguhan ikatan
Terfikirkah atau terhindarkan?
Yang penting aku tangguh di sini
Tetap berdiri di sampingnya
Setia menemani dan ada untuknya
Sebagai teman di mana-mana juga di bis kota
Aku akan tetap tangguh untuknya yang tangguh
Galau
Meradang
dalam dada
Aku terpana pada sosok jalang katanya
Bertapa tanpa temu dan sapa
Ruang ini gelap
Tertutup kelambu warnah merah tua
Batin ini tersingkap
Tetap terperangkap dalam gelap
Hingga hinggap sebutir cahaya biru
Risau aku risau
Bagaimana mungkin si jalang
Ku damba bagai domba gembala emas
Adakah suatu wasiat penasihat ?
Aku butuh tuntunan
Langkah tak bisa merekah sumringah
Bahagia yang fana
Gelap ini semakin menghisap tenagaku
Lama aku jatuh tersungkup
Sesal tak henti meski cahaya itu mendekati
Tidak, tidak
Mana mungkin aku begini pasrah
Kalah pada semua marah yang parah
Musnahlah segala risau galau
Akan ku tapakkan kakiku
Pada sesungkup batu besar
Lantang menentang tak mendengar longlongan yang jalang
Cintaku itu tak jalang
Hanya saja ilalang yang dianggap hilang
Aku terpana pada sosok jalang katanya
Bertapa tanpa temu dan sapa
Ruang ini gelap
Tertutup kelambu warnah merah tua
Batin ini tersingkap
Tetap terperangkap dalam gelap
Hingga hinggap sebutir cahaya biru
Risau aku risau
Bagaimana mungkin si jalang
Ku damba bagai domba gembala emas
Adakah suatu wasiat penasihat ?
Aku butuh tuntunan
Langkah tak bisa merekah sumringah
Bahagia yang fana
Gelap ini semakin menghisap tenagaku
Lama aku jatuh tersungkup
Sesal tak henti meski cahaya itu mendekati
Tidak, tidak
Mana mungkin aku begini pasrah
Kalah pada semua marah yang parah
Musnahlah segala risau galau
Akan ku tapakkan kakiku
Pada sesungkup batu besar
Lantang menentang tak mendengar longlongan yang jalang
Cintaku itu tak jalang
Hanya saja ilalang yang dianggap hilang
Eglantine
Seperti
bunga itu, harum semerbak menyerebak ke semak-semak ruang hampa ini.
Sanjungan yang mampu membuat ku bisu tapi masih saja pilu.
Pertemuan yang dinanti ujungnya jadi benci karena sesungguhnya itu juga menyakiti.
Mimpi yang dirajut kemudian larut dan hilang bersama bayang yang kau bawa melayang entah ke seberang yang mana.
Duh rasanya sesak di dada.
Lirih ku bersua bercerita tapi tetap tiada kabarnya.
Matilah jika kau pergi lagi.
Setidaknya jangan permainkanku seperti ini.
Kau seperti anggapku sampah limbah dari sumpah serapah yang dengan serakah kau buat.
Tidak!
Aku membenci hal yang ku cari.
Lalu kenapa kau tetap ku nanti?
Bahkan setelah melati pergi, bunga ini tak kembang lagi.
Hanya arti yang tersembunyi dalam nama.
"Eglantine" yang abadi.
Sanjungan yang mampu membuat ku bisu tapi masih saja pilu.
Pertemuan yang dinanti ujungnya jadi benci karena sesungguhnya itu juga menyakiti.
Mimpi yang dirajut kemudian larut dan hilang bersama bayang yang kau bawa melayang entah ke seberang yang mana.
Duh rasanya sesak di dada.
Lirih ku bersua bercerita tapi tetap tiada kabarnya.
Matilah jika kau pergi lagi.
Setidaknya jangan permainkanku seperti ini.
Kau seperti anggapku sampah limbah dari sumpah serapah yang dengan serakah kau buat.
Tidak!
Aku membenci hal yang ku cari.
Lalu kenapa kau tetap ku nanti?
Bahkan setelah melati pergi, bunga ini tak kembang lagi.
Hanya arti yang tersembunyi dalam nama.
"Eglantine" yang abadi.
Cerita Kepada Matahari
Tertunduklah
matahari, aku ingin bercerita kepadamu. Aku tidak bisa mendongakkan kepalaku,
itu terlalu sulit, itu akan membuatku menangis karena silaumu. Matahari,
kau pernah mendengar cerita Romeo dan Juliet? Setidaknya kaulah saksi sepanjang
masa, harusnya kau tau itu.
Tentang
si kerbau putih, yang hadir begitu lama di hidupku, yang membuat suka terlebih
juga pilu. Yang membuat cerita 17 Juni menjadi nyata. Yang membuat mimpi selalu
terbelenggu hanya berorientasi kepadanya. Bagiku, terlebih dan terlampau sulit
semuanya ku musnahkan hingga luruh segala rasa terhadapnya, musnah semua mimpi
tentangnya, dan berhenti semua harapan tentangnya.
Matahari,
berjelaga sendiri aku sepi, menangis sendiri aku letih, bicara sendiri aku
lelah. Teman yang jauh tak tergapai, semua tentang rasa yang terjebak dalam
lubang cacing dalam. Gelap. Sesak. Sepi.
Aku
bahkan terlampau menggila sehingga selalu saja berfikir dia bisa kembali dan
menjadi tungganganku ke nirwana nanti,bisa menjadi penuntun jalan ku saat aku
tersesat.
Membius
semua rasa, hujan yang deras datang dan memecah segalanya. Badai yang menyambar
perahu tungganganku hingga tenggelam. Tentang kelegaan dan penyesalan tumpah
ruah dalam samudra penampung pilu. Dan kini aku telah sampai tingkatan dewa
yang sudah kekal akan semua dentuman yang memecah rasa hingga musnah dan tak
bisa merasa. Aku berjalan lurus, dengan tulus, menghapus semua cerita tentang
kerbau putih perayu rasa penghancur hati.
Dan
kepada matahari yang tetap membisu mendengar ceritaku, ingatlah dan jagalah
hingga dunia membuatku tak lagi merasakan panasmu.
Tertanda
Merpati Jingga.
Puisi Malam Mala Rindu
Pertama
dalam sebuah warna hitam yang ada seketika membeku terus saja seperti itu.
Seketika itu pula aku berfikir rindu ini sudah terlampau merasuk. Kepada siapa
dan kenapa pun aku tak tahu. Malam ini hujan tak turun tapi langit tanpa
bintang dan bulan membuat suasana semakin sengsara dan hampa.
Tangan
ini berusaha terus bersembunyi dan tak lagi memperlihatkan ingin menggenggammu.
Sesungguhnya aku tahu kau tak sungguh-sungguh terhadapku, hanya saja kata-kata
manismu selalu membuatku rindu. Ah, rasanya aku ingin mengikuti realitanya
saja, dan pergi dari sisimu, memperlihatkan betapa muak aku selama ini menunggu
dan percaya. Sesungguhnya aku bahkan tak bisa percaya seluruhnya terhadapmu.
Orang macam apa, pikiranmu yang sesungguhnya seperti apa, pandanganmu tetangku
bagaimana pun aku tak yakin yang sesungguhnya seperti apa. Tapi tetap saja
lantunan sajak-sajak rindu, bingkisan lagu puisi mala rinduku kutujukan
kepadamu.
Aku
selalu berfikir kau akan membuatku bangga, tapi aku tak berfikir kau akan
membuatku bahagia. Merpati ini lelah setia, merpati ini ingin kau bawa
kehadapan mereka. Jika kau tak bisa berucap karena bimbang, setidaknya tunjukan
aku dekat denganmu.
Puisi
ini rasanya tiada gunanya, aku muak. Mengapa setiap pesonamu membungkamku? Aku
bahkan tak bisa memungkiri kebanggaanku terhadapmu. Apa yang harus aku lakukan
kalau sudah begini?
Aku
bagaikan seorang jalang yang tak berhak berharap, tapi kau selalu berkata manis
terhadapku. Membungkamku dengan semua ketidakpastian yang kutahu pasti.
Kenapa
kau begini? Aku tak tahu apakah aku mencintaimu? Rasanya ini bukan perasaan
cinta. Hanya saja aku tak rela melepaskan kau yang membuatku terbungkam dan
terdiam untuk tetap menunggu dan terus saja berharap.
Untukmu
si kaki besar.
Hujan 13 Januari 2015
Hujan
sore ini membasahi seluruh atap peneduh jiwa.
Seperti duka, aku ingin bercerita tentang dia.
Panah asmara yang salah entah menancap ke bagian mana dan kepada siapa.
Aku gundah dan resah menunggu suka.
Haruskah aku tetap berjalan lurus kearahnya?
Bahkan aku tak tahu nirwana seperti apa yang ada di sana.
Aku tak mau melangkah lagi kearahnya.
Aku lelah.
Tapi cita dan cintaku di sana.
Maka aku bertanya pada hujan 13 Januari.
Luka atau suka yang kan ku jumpa.
Seperti duka, aku ingin bercerita tentang dia.
Panah asmara yang salah entah menancap ke bagian mana dan kepada siapa.
Aku gundah dan resah menunggu suka.
Haruskah aku tetap berjalan lurus kearahnya?
Bahkan aku tak tahu nirwana seperti apa yang ada di sana.
Aku tak mau melangkah lagi kearahnya.
Aku lelah.
Tapi cita dan cintaku di sana.
Maka aku bertanya pada hujan 13 Januari.
Luka atau suka yang kan ku jumpa.
Langganan:
Postingan (Atom)